PENDAHULUAN
Sejarah menginformasikan, bahwa
peristiwa wafat Nabi Saw. adalah merupakan titik awal munculnya
perbedaan pendapat yang cukup tajam di kalangan umat Islam. Sehingga
membawa pengaruh terhadap corak pemikiran umat Islam pada fase-fase
sejarah berikutnya. Timbulnya silang pendapat tersebut bermula dari
munculnya persoalan baru di sekitar masalah siapa yang bakal
menggantikan Nabi saw., sebagai pemimpin kaum muslimin (Khalifah)[1].
Dari peristiwa ini timbullah perdebatan yang bernuansa politik, yang
oleh Harun Nasution menggambarkan bahwa sesungguhnya persoalan yang
pertama-tama timbul di kalangan umat Islam bukanlah persoalan keyakinan
melainkan persoalan politik[2].
Dari persoalan politik ini kemudian berkembang menjadi isu akidah yang
cukup serius yang berekses kepada terpilah-pilahnya umat Islam kedalam
beberapa aliran teologi[3].
Dengan berlalunya masa, munculah
peristiwa dalam sejarah apa yang di sebut dengan “peristiwa Ali ra.
Kontra Utsman ra. “ dimana timbul perdebatan sengit diantara umat Islam
untuk mengetahui siapa yang benar dan siapa yang salah.
Persoalan
pertama yang di perselisihkan adalah tentang “Imamah “. Golongan
Syiah memonopoli bahwa, soal imamah harus di serahkan kepada Ali ra.
Dan para keturunannya. Sedangkan kaum Khawarij dan Mu’tazilah menganggap
bahwa orang yang berhak memangku jabatan imamah ialah orang yang
terbaik dan paling cakap, meskipun ia seorang budak belian atau bukan
orang Arab ( Quraisy )[4].
Terjadinya peristiwa terbunuhnya Utsman ra. (l7 Juni 656 M) oleh pemberontak dari Mesir [5],
adalah merupakan titik kedua munculnya persoalan baru yang semakin
melebar. Dari persoalan siapa benar dan siapa salah, kemudian berkembang
menjadi persoalan tentang “dosa besar“,dari persoalan dosa besar
akhirnya meningkat menjadi perselisihan soal “iman “, yakni siapa kafir, siapan mukmin, dan siapa fasik serta dimana kedudukan mereka nanti di akhirat kelak dan sebagainya.
Bermula dari persoalan “iman” inilah
yang melatar belakangi lakhirnya beberapa aliran besar dalam teologi
Islam : yakni disamping Syi’ah, Khawarij dan Mu’tazilah, muncul kemudian
al-Asy’ariyah, al-Maturidiyah, Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah, Qadariyah,
Jabariyah, Murjiah, Salaf, Wahabiyah dan lain sebagainya.
Sesungguhnya corak perbedaan pendapat
dikalangan aliran teologi dalam Islam adalah lebih dikarenakan adanya
empat pokok persoalan besar, diantaranya : Perdebatan tentang adanya
sifat-sifat Tuhan, Qadar dan Keadilan Tuhan, janji dan ancaman Tuhan,
serta soal sama’ dan akal (apakah kebaikan dan keburukan itu hanya bisa
diterima dari syara’ atau dapat ditemukan oleh akal pikiran )[6].
Dari latar belakang corak perbedaan pendapat tersebut di atas, yang akan dijadikan obyek pembahasan dalam makalah ini hanyalah disekitar perbincangan atau perdebatan persoalan “Anthropomorphisme“ atau faham tentang sifat-sifat jasmani yang ada pada Tuhan.
PERBINCANGAN ALIRAN–ALIRAN TEOLOGI ISLAM TENTANG ANTHROPOMORPISME
Penjelasan Istilah Teologi Islam dan Anthropomorphisme
Pengertian Teologi Islam
Secara etimologi “Theologi “ terdiri dari kata “Theos“ artinya Tuhan, dan “Logos“
artinya Ilmu (science, study, discourse), sehingga dapat diartikan
bahwa theologi adalah ilmu tentang Tuhan atau ilmu Ketuhanan[7]
Sedangkan arti secara terminologi, kata “Theologi“ menurut Collins dalam “New English Dictionary” adalah : “The Science which treats of the facts an phenomena of religion, and the relations between God and man”[8] ( ilmu yang membahas tentang fakta-fakta dan gejala-gejala agama dan hubungan-hubungan antara Tuhan dan manusia ).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa “Theologi”
ialah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan pertaliannya dengan
manusia, baik yang berdasarkan atas kebenaran wahyu ataupun berdasarkan
penyelidikan akal murni manusia.
Adapun pemakaian istilah “Theologi Islam”, yang dimaksud adalah : Ilmu Kalam, ilmu tauhid, ilmu ushuluddin atau ilmu aqaid [9].
Syech Muhammad Abduh mendefinisikan bahwa “Ilmu Kalam atau Ilmu Tauhid”
ialah, ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan, sifat-sifat yang
mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang boleh ada pada-Nya dan sifat-sifat
yang tidak mungkin ada pada-Nya[10].
Menurut A. Hanafi, sebab utama dinamakan
“Ilmu Kalam” adalah karena dasar dalil yang digunakan semata-mata dalil
akal pikiran, dan dalil naqal (al-qur’an dan hadis) baru dipakai
sesudah mereka menetapkan kebenaran persoalan dari segi akal pikiran [11].
Ilmu kalam sebagai ilmu yang berdiri
sendiri, pertama kali dipakai pada masa khalifah al-Makmun (bani
Abbasiyah) yang wafat tahun 2l8 H. yakni setelah ulama-ulama Mu’tazilah
mempelajari kitab-kitab filsafat yang telah memadukannya dengan metode
ilmu kalam [12].
Sehingga dapat disimpulkan disini bahwa,
theologi Islam (ilmu kalam) yang dimaksud adalah, ilmu yang
membicarakan di sekitar kepercayaan tentang Tuhan, baik yang berhubungan
dengan soal wujud, kalam, keesaan maupun sifat-sifat Tuhan yang
didasarkan di atas prinsip-prinsip ajaran Islam.
Pengertian Anthropomorphisme
Anthropomorphisme dalam teologi Islam dikenal dengan “Tasybih, Musyabihah, Tajsim, Mujasimah ataupun aliran Shifatiyah” [13].
A. Hanafi mendefinisikan, bahwa anthropomorphisme (musyabihah) ialah golongan Islam yang menggambarkan bahwa Tuhan sebagai zat yang beranggota badan dan mempunyai sifat-sifat manusia[14].
Adapun secara umum, anthropomorphisme
dapat berarti memberikan atribut dengan kualitas kemanusiaan terhadap
bidang atau alam yang tidak bersifat manusiawi, atau dengan kata lain :
Memberikan gambaran tentang Tuhan bersifat atau berbentuk seperti
pribadi manusia [15].
Dari beberapa pengertian tersebut diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, anthropomorphisme
ialah suatu faham atau aliran yang mengakui bahwa Tuhan mempunyai jisim
atau sifat yang sama seperti sifat jasmani yang ada pada manusia.
Beberapa Pendapat Aliran Teologi Islam Tentang Anthropomorphisme
Pendapat Golongan Syi’ah
Syi’ah yang berarti, pengikut partai, kelompok, perkumpulan, partisipan atau pendukung [16], yang dimaksud adalah suatu golongan atau pengikut setia yang fanatik kepada Ali dan keturunannya[17]. Yang mana dalam sejarahnya, golongan ini pecah menjadi tiga golongan besar, yakni : Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Imamiah atau Istna ‘Asyriyah dan Syi’ah Ismailiyah. Dari ketiga golongan ini yang berpendapat lebih moderat ialah Golongan Syi’ah Zaidiyah. Ia tidaklah membenarkan tentang pengakuan adanya sifat yang berlebihan yang diberikan kepada Ali ra., sebagaimana pendapat Syi’ah Ismailiyah
yang mengatakan bahwa Ali hingga kini masih hidup, bukan terbunuh.
Sebab Ali telah dikaruniai sifat-sifat ke-Tuhanan yang tak akan pernah
mati, bahkan dianggapnya sebagai Tuhan [18].
Anggapan Syi’ah lainnya mengatakan bahwa roh itu dapat berpindah dari
tubuh yang satu ke tubuh yang lain. Dan Allah itu berjisim serta dapat
menjelma kedalam tubuh manusia [19].
Dari pendapat ini nampaknya Syi’ah dalam hal anthropomorphisme sangat
dekat dengan pengaruh Hindhu, sedangkan mensifatkan Ali dengan sifat
ke-Tuhanan sangatlah dekat dengan faham agama Masehi.
Pendapat Aliran Jabariyah
Aliran Jabariyah yang disebut juga sebagai aliran Jahamiyah,
karena dibangun oleh Jaham bin Sofwan, memiliki ajaran pokok bahwa,
manusia dalam melakukan perbuatannya adalah dalam keadaan terpaksa,
artinya mereka tidak mempunyai kebebasan menentukan kehendak, sebab yang
ada hanyalah kehendak mutlak Tuhan [20]. Dari faham yang demikian ini menjadikan faham Jabariyah sering dilawankan dengan faham Qadariyah.
Adapun faham anthropomorphismenya
terutama yang berhubungan dengan sifat Tuhan, aliran Jabariyah
berpendapat bahwa, Tuhan tidaklah mempunyai sifat, tetapi hanya
mempunyai Zat. Tuhan tidak layak disifati dengan sifat mahluk-Nya, sebab
yang demikian berarti mentasybihkan (menyerupakan) Tuhan dengan mahluk-Nya [21].
Fahamnya mengenai kalam Tuhan (al-Qur’an), Jaham berpendapat bahwa,
al-Qur’an adalah mahluk yang dibuat sebagai suatu yang baru (hadis).
Adapun fahamnya tentang melihat Tuhan, Jaham berpendapat bahwa, Tuhan
sekali-kali tidak mungkin dapat dilihat oleh manusia di akhirat kelak.
Dan tentang keberadaan syurga-neraka, setelah manusia mendapatkan
balasan di dalamnya, akhirnya lenyaplah syurga dan neraka itu [22]. Dari pandangan ini nampaknya Jaham dengan tegas mengatakan bahwa, syurga dan neraka adalah suatu tempat yang tidak kekal.
Pendapat Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah dibentuk oleh Washil bin ‘Atha’ (80-131H/ 699-748 M). Dinamakan Mu’tazilah
karena Washil bin ‘Atha’ telah memisahkan diri dari kelompok gurunya
yakni Hasan al-Basri. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Hasan al-Basri
sendiri : ”I’tazala ‘Anna Washil”, (Washil telah memisahkan
diri). Sehingga secara etimologi Mu’tazilah dapat diartikan sebagai
golongan yang memisahkan diri dari gurunya, karena perbedaan faham dalam
sesuatu hal [23].
Kecuali Washil bin ‘Atha’, tokoh Mu’tazilah terkenal lainnya ialah ;
Al’Alaf, An-Nazzham, Al-Jubbai, Bisyr bin Al-Mu’tamir, Al-Chayyat,
Al-Qadhi Abdul abbar dan Az-Zamaikhsyari. Mereka hampir sama dalam
menyandarkan pendapatnya, yakni menggunakan pemikiran bercorak rasional.
Ajaran pokok Mu’tazilah berkisar pada lima prinsip, diantaranya :
Tentang keesaan Tuhan (al-Tauhid ), keadilan (al- ‘Adlu), janji dan ancaman (al-Wa’du wa al-wa’idu), tempat diantara dua tempat (al-Manzilatu baina al-manzilataini) dan amar ma’ruf nahi munkar [24].
Adapun pandangan Mu’tazilah terhadap faham Mujassimah (anthropomorphisme), mereka menolak dengan keras. Mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang mensifati Tuhan dengan sifat-sifat manusia, seperti : Yadullah (tangan Allah), Kalamullah (perkataan Allah), dan sebagainya, haruslah ditakwilkan secara majazi (metafora atau kiasan). Mu’tazilah juga menolak konsep dualisme dan trinitas
tentang Tuhan sebagaimana kepercayaan yang dianut oleh orang-orang
Masehi, bahwa al-Masih anak Tuhan yang dilakhirkan dari Tuhan sebagai
bapak sebelum masa dan jauharnya juga sama [25].
Selanjutnya Mu’tazilah berpendapat, bahwa al-Qur’an yang disebut dalam
kalam atau sabda Tuhan yang tersusun dari huruf dan suara adalah makhluk
yang dijadikan oleh Tuhan. Kalamullah tersebut tidak ada pada Zat
Tuhan, melainkan berada di luar diri-Nya. Mu’tazilah tidak mengakui
adanya sifat-sifat Tuhan sebagi suatu yang qadim, juga mengingkari
adanya faham bahwa, Tuhan nanti dapat dilihat oleh manusia dengan mata
kepala di akhirat kelak [26]..
Alasan Mu’tazilah dalam masalah melihat Tuhan ini nampaknya cukuplah
rasional, dimana Tuhan adalah bersifat Immateri, sedang mata kepala
adalah bersifat materi. Sehingga tidaklah mungkin suatu yang immateri
dapat dilihat dengan suatu yang materi.
Pendapat Aliran Al-Asy’ariyah
Pembangun aliran al-Asyi’aryah adalah,
Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail al-Asyi’ary, yang lakhir di Basrah (Iraq)
tahun 260 H/ 873 M, dan wafat tahun 324 H/935 M [27].
Sewaktu kecil hingga berumur 40- tahun, al-Asyi’ary sempat berguru pada
seorang tokoh Mu’tazilah terkenal yaitu Abu Ali al-Jubbai Muhammad ibn
Abdul Wahhab, bahkan sebagai penganut faham Mu’tazilah yang
berpendapat bahwa al-Qur’an adalah mahluk, Tuhan tidak dapat dilihat
dengan mata kepala, manusia itu sendiri yang menciptakan pekerjaan dan
keburukan dan lain-lain[28].
Namun pada akhirnya al-Asyi’ary keluar dan tidak puas terhadap faham
Mu’tazilah yang dianut oleh gurunya tersebut. Kemudian mendirikan aliran
tersendiri yang dikenal dengan aliran “al-Asyi’aryah“, yang menurut Ali
ibn Iwaji memasukkannya ke dalam kelompok “Ahlu al Sunnah wa
al-Jamaah“, hal itu didasarkan pada catatan yang ada dalam kitab
al-Asyi’ary yaitu dalam “Al-Ibanat an ‘Ushul al Diyanah“ [29].
Kitab tersebut berisi tentang penjelasan soal-soal pokok agama yakni
tentang kepercayaan (akidah) ahlu al-sunnah wa al-jamaah, dan berisi
kritik atau penyerangan terhadap aliran Mu’tazilah [30].
Dimasukkannya al-Asyi’ary ke dalam faham
Ahlu al-Sunnah Wa al-Jamaah, karena memiliki konsep jalan tengah
sebagai seorang pendamai terhadap dua pandangan ekstrim (antara ahlu
al-Hadis dengan ahlu al-Ra’yi) yang berkembang dalam masyarakat muslim
waktu itu [31].
Adapun pandangan Al-Asyi’aruyah dalam hal Anthropomorphisme diantaranya meliputi :
Tentang Melihat Tuhan ( Ru’yah Allah )
Dalam masalah melihat Allah, al-Asyi’ary
berpendapat bahwa Allah Swt. Dapat dilihat oleh hamba-hamba-Nya yang
beriman di akhirat kelak seperti halnya mereka melihat bulan purnama [32]. al-Asyi’ary berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada (maujud) memungkinkan untuk dapat dilihat, karena Allah adalah sesuatu yang maujud maka sah untuk dilihat (sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an Surat al-Qiyamah (75) : 22)[33].
Tentang Sifat-Sifdat Tuhan
Pendapat al-Asyi’ary dalam masalah sifat Tuhan adalah terletak ditengah-tengah antara aliran Mu’tazilah dan Mujassimah. Dimana Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, seperti wujud, qidam, baqa’, wahdaniyah, dan sifat Zat yang lain seperti : sama’, bashar dan yang lainnya, kesemuanya itu tidak lain hanya Zat Tuhan sendiri. Sedangkan aliran Mujassimah
mempersamakan sifat-sifat Tuhan tersebut dengan sifat yang ada pada
mahluk-Nya. Al-Asyi’ary dalam hal ini mengakui adanya sifat-sifat Tuhan
tersebut yang sesuai dengan Zat Tuhan itu sendiri dan sama sekali tidak
menyerupai sifat-sifat mahluk-Nya, seperti Tuhan mendengar, tetapi tidak
seperti kita mendengar dan seterusnya [34].
Jadi mengenai sifat-sifat Tuhan, al-Asyi’ary secara garis besar berpendapat bahwa, sifat-sifat itu adalah qadim sebagaimana Zat yang disifatkan. Maka Allah berkata itupun dengan kalam-Nya yang qadim, berkehendak dengan iradah-Nya juga yang qadim pula dan seterusnya.
Tentang Tasybih dan Tajsim ( Penyerupaan dan Personifikasi )
Al-Asyi’ary sangatlah hati-hati terhadap masalah tasybih (penyerupaan dengan mahluk), hal ini dapat dilihat pernyataan al-Asyi’ari dalam kitab “al- Luma’
“ sebagaimana dikutip oleh H.M. Laily Mansur : “Ketika engkau
menyatakan bahwa Tuhan tidak menyerupai seluruh mahluk, maka katakanlah
bahwa sekiranya Tuhan menyerupai nmya, tentulah hukumnya sama dengan
hukum hadis (yang baru), jika diserupakan, maka tidak terlepas dari
keseluruhan atau sebagiannya. Jika keseluruhan, maka keadaannya sama
dengan hadis keseluruhan, dan jika sebagian, maka keadaannya serupa
untuk sebagian dengan yang hadis (baharu), yang demikian itu semuanya
mustahil bagi Zat yang Qadim [35]. Dengan demikian al-Asyi’ary dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan adalah tanpa melalui ta’wil maupun tasybih.
Tentang al-Qur’an Bukan Mahluk
Telah dikemukakan di atas, al-Asyi’ary
pernah berpendapat bahwa al-Qur’an adalah mahluk, kemudian ia mencabut
pendapatnya itu dengan penuh penyesalan, akhirnya ia menyatakan bahwa
kalam Allah itu adalah bukan mahluk [36]. Menurutnya kalam Allah itu Esa dan Qadim, adapun mengenai perintah dan larangan, wa’id dan sebagainya merupakan i’tibar-i’tibar dalam kalam-Nya dan bukan merupakan jumlah berbilang di dalam kalam itu sendiri [37].
Dari keterangan ini al-Asyi’ary melihat
bahwa, kalam Allah itu ada dua bentuk, yaitu : sesuatu yang merupakan
sifat Tuhan dan itulah yang qadim. Dan yang kedua adalah lafadz yang menunjuk atas kalam yang qadim tersebut, dan itulah yang hadis dan bersifat mahluk.
Pendapat Aliran al-Maturidiyah
Aliran al-Maturidiyah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam yang tergolong kelompok ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah. Aliran ini muncul pada awal abad IV H [38].
Aliran al-Maturidiyah disandarkan pada nama pendirinya, yaitu Abu
Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Maturidy, yang lakhir di
Maturid, yakni sebuah kota kecil di Samarkand Uzbekistan, dan tahun
kelakhirannya tidak banyak diketahui. Al-Maturidy wafat sekitar tahun
332 / 333 H[39].
Aliran al-Maturidiyah juga bernaung di bawah faham ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah bersama dengan aliran al-Asyi’ariyah. Kedua aliran ini hadir kemedan percaturan teologi, karena reaksinya terhadap aliran Mu’tazilah [40].
Dan dalam perkembangannya aliran al-Maturidiyah pecah menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok Samarkand di bawah pimpinan Abu Mansur
al-Maturidy sedang kelompok Bukhara di bawah pimpinan al-Bazdawy.
Perbedaan prinsip tentang masalah
teologi, kelompok al-Maturiduyah Samarkand agak lebih rasional dan lebih
dekat kepada al-Asyi’ariyah, dibandingkan dengan kelompok
al-Maturidiyah Bukhara [41].
Adapun pokok-pokok ajaran al-Maturidiyah, khususnya dalam hal anthropomorphisme meliputi hal sebagai berikut :
Tentang Sifat – Sifat Tuhan
Dalam masalah sifat-sifat Tuhan
al-Maturidy sependapat dengan al-Asyi’ariy, bahwa Tuhan mempunyai sifat,
namun bukan sebagai Zat Tuhan, tetapi juga tidak lain dari Tuhan.
Sebagai misal, jika dikatakan Tuhan maha mengetahui, maka buykanlah
dengan Zat-Nya, akan tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya [42].
Dengan demikian , semua sifat-sifat
Tuhan seperti sama’, bashar, ilmu dan seterusnya memang terdapat pada
Tuhan , akan tetapi bukanlah sifat-sifat itu berdiri sendiri, sebab
sifat dan Zat Tuhan adalah suatu hal yang terpisah.
Tentang Melihat Tuhan
Al-Maturidy sependapat dengan
al-Asyi’ary, bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di aherat
kelak. Bagi al-Maturidy yang tidak dapat dilihat hanyalah yang tidak
mempunyai wujud, yang mempunyai wujud mesti dapat dilihat. Tuhan adalah
berwujud, oleh karena itu dapat dilihat [43].
Pandangan ini didasarkan pada al-Qur’an surat : al-Qiyamah ( 75 ) ayat : 22-23 yang berbunyi :
Artinya : “ Wajah-wajah ( orang –orang mukmin ) pada hari itu berseri-seri . Kepada Tuhanyalah mereka melihat”.
Tentang Keyakinan Mengetahui Tuhan
Al-Maturidy berpendapat bahwa iman mesti lebih dari sekedar tasdiq,
karena baginya akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan.
Al-Maturidy juga berpendapat bahwa mengetahi Tuhan tidak harus dengan
bertanya, bagaimana bentuknya. Ma’rifah adalah mengetahui Tuhan dengan sifat-Nya, dan tauhid adalah mengenal Tuhan dengan ke-Esaan-Nya[44].
Jadi al-Maturidy dalam hal mengetahui
Tuhan, dapatlah dicapai melalui pengetauan akal dengan cara mengetahui
sifat-sifat yang ada pada Tuhan.
Tentang Kejisiman Tuhan (Anthropomorphisme)
Tentang kejisiman Tuhan ini,
al-Maturidy tidaklah sependapat dengan al-Asyi’ary, yang mengatakan
bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan itu mempunyai bentuk
jasmani tidak dapat diberi interpretasi atau takwil, sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Namun al-Maturidy berpendapat bahwa Tuhan sama sekali tidak mempunyai badan dan jasmani [45]. al-Maturidy menambahkan bahwa, tenaga, wajah, dan sebagainya mesti di beri arti majazi atau kiasan , seperti tangan Tuhan harus ditakwilkan dengan kekuasaan Tuhan [46].
Dari pandangan ini terlihat bahwa dalam
aspek pemikiran tertentu al-Maturidy sependapat dengan Mu’tazilah,
terutama pada masalah-masalah yang banyak menggunakan rasio.
Pendapat Aliran Salaf
Aliran Salaf muncul sekitar abad ke-IV
Hijriyah, dimana para pengikutnya selalu mempertalikan diri dengan
pendapat Imam Ahmad ibn Hambal, sehingga aliran salaf ini sering disebut
sebagai golongan “Hanabilah“[47].
Pada abad ke- VII Hijriyah, aliran salaf
mendapatkan kekuatan baru atas masuknya Ibnu Taimiyah (Taqiyuddin Ahmad
ibn Abdul Halim ibn Taimiyah) lakhir di Harran (Iraq) tahun 661 H. dan
wafat sekitar tahun 728 H. di Damsyik (Syiria). Faham salaf berkembang
dengan pesat pada abad ke XII H. setelah masuknya Syekh Muhammad bin
Abdul Wahab yang mendapat dukungan penuh dari raja Saudi Arabia ketika
itu, yakni Muhammad ibn Sa’ud, yang akhirnya aliran tersebut terkenal
dengan nama “aliran Wahabiyah”[48].
Sesungguhnya aliran Wahabiyah adalah merupakan kelanjutan dari aliran
Salaf yang telah dibangun oleh Ibn Taimiyah beserta pengikut-pengikutnya
yang sangat berpegang teguh pada pendapat Imam Ahmad ibn Hambal, baik
dalam lapangan fiqih, maupun dalam lapangan teologi. Mereka juga
menamakan diri sebagai “muhjis sunnah“ (pembangun atau penghidup
sunnah). Sistem pemikiran yang digunakan adalah tidak percaya kepada
metode logika rasional yang dianggap asing bagi Islam, karena metode ini
tidak pernah terdapat pada masa sahabat maupun pada masa tabi’in. Jadi
jalan untuk mengetahui akidah dengan dalil-dalil pembuktiannya, haruslah
dikembalikan kepada sumber murninya, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah,
tanpa embel-embel interpretasi apapun dengan memegangi arti lakhir atau
dengan tafsiran indrawi (sensible interpretation) secara leterlek [49].
Adapun aliran Wahabiyah dalam mendukung
penyiaran faham ini adalah dengan jalan kekerasan dan memandang orang
yang tidak mengikuti ajaran-ajarannya dianggap sebagai orang “bid’ah” yang harus diperangi sesuai dengan prinsip “amar ma’ruf nahi munkar” [50].
Adapun pendapat aliran salaf tentang persoalan sifat-sifat Tuhan, kemahlukan al-Qur’an, penyerupaan (tasybih) Tuhan dengan manusia, kesemua ini digolongkan hanya menjadi satu persoalan, yakni tentang “Ketauhidan” (keesaan) yang mencakup tiga segi, diantaranya :
Tentang Keesaan Zat Tuhan
Aliran Salaf telah memandang sesat
terhadap golongan filosof, aliran Mu’tazilah dan golongan tasawuf,
karena mereka mempercayai adanya persatuan diri dengan Tuhan ( ittihad ) atau peleburan diri pada Zat Tuhan ( fana’).51
Tentang Keesaan Sifat Tuhan
Aliran Salaf dalam menetapkan
sifat-sifat Tuhan, nama-nama atau perbuatan Tuhan yang termuat dalam
al-Qur’an dan al-Hadis, seperti : al-Hayyu (yang hidup), al-Qayyum (yang tidak membutuhkan yang lain), al-Shamadu (yang dibutuhkan oleh yang lain), Zul ‘Arsy al-Majid
(yang mempunyai arsy yang megah), Tuhan turun kepada manusia dalam
gumpalan awan (baca al-Baqarah : 210), Tuhan bertempat di langit (baca
QS. Fushilat : 11), Tuhan mempunyai muka (baca QS. Al-Baqarah : 115),
Tuhan mempunyai tangan (baca QS. Ali Imran : 73) dan seterusnya.
Sifat-sifat tersebut dipercaya oleh aliran Salaf dengan memegangi arti
lakhir semata, meskipun dengan pengertian bahwa sifat-sifat tersebut
hakekatnya tidak sama dengan sifat-sifat mahluk [51].
Seperti mereka mengatakan bahwa tangan Tuhan, adalah tidak dimaksudkan
sebagaimana tangan yang ada pada manusia, begitu seterusnya.
Jadi dengan perkataan lain, bahwa aliran Salaf sesungguhnya dalam masalah faham anthropomorphisme, adalah berada diantara “ta’thil” (peniadaan sifat Tuhan sama sekali) dengan “tasybih” (penyerupaan Tuhan dengan mahluk-Nya).
PENUTUP
Dengan selesainya pembahasan sebagaimana tersebut diatas, dapatlah di simpulkan disini beberapa hal penting , diantaranya :
- Yang dimaksud “Anthropomorphisme” yang dalam teologi dikenal dengan istilah : Tasybih, musyabihat, tajsim, mujasimah atau aliran shifatiyah, ialah suatu faham atau aliran yang mengakui bahwa, Tuhan mempunyai jisim atau sifat yang sama dengan sifat jasmani pada manusia (mahluk-Nya). Dari faham yang demikian, akhirnya melibatkan perbincangan yang cukup serius di kalangan aliran-aliran besar dalam teologi Islam, seperti : Golongan Syi’ah, Jabariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, aliran Salaf dan lain sebagainya.
- Terjadinya corak perbedaan pendapat di kalangan aliran-aliran dalam teologi Islam tentang “Anthropomorphisme” adalah lebih di sebabkan adanya perbedaan cara pandang dalam memahami nash-nash al-Qur’an maupun al-Hadis terutama yang berhubungan dengan masalah “Anthropomorphisme” . Dimana satu sisi dengan memegangi arti lakhir nash secara leterlak tanpa menggunakan adanya bentuk interpretasi apapun. Sedangkan disisi lain tetap berpegang pada dalil-dalil nash yang harus diberi arti majazi dengan takwil dan interpretasi .
- Akibat poin kedua sebagaimana tersebut diatas menyebabkan beberapa aliran seperti : Jabariyah meniadakan sama sekali sifat-sifat yang ada pada Tuhan, karena bisa menjerumuskan kedalam faham tajasum atau tasybih (menyerupakan) Tuhan dengan mahluk-Nya. Mu’tazilah tetap mengakui adanya sifat-sifat Tuhan yang harus di takwilkan atau diberi interpretasi, sehingga tidak terjerumus pada faham tajasum. Senada dengan Mu’tazilah, Asyi’ariyah dan Maturidiyah juga menggunakan takwil dan interpretasi dalam memahami nash-nash al-Qur’an maupun al-Hadis terutama yang berkaiatan dengan sifat-sifat jasmaniah pada Tuhan, namun mereka lebih hati-hati dan mengambil jalan tengah dalam menentukan sikap pendapatnya. Demikian pula yang difahami oleh aliran Salaf dan Wahabiyah, yang dalam menetapkan sifat-sifat tajasum pada Tuhan dengan berpegang teguh pada arti dhakhir ayat, sehingga mereka mempunyai dua keyakinan yakni, secara Ta’thil (peniadaan sifat Tuhan) sama sekali, dan dengan Tasybih (menyerupakan Tuhan dengan mahluk-Nya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar